1. Sholehkan diri, Sholehkan anak.
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”,
perumpamaan ini pas sekali untuk menggambarkan, bahwa sedikit banyak
anak adalah cerminan dari kedua orang tuanya. Karena itulah, sebelum
kita memiliki cita- cita untuk mendapatkan anak sholeh, memang sebaiknya
para orang tua mensholehkan diri mereka. Orang tua juga selayaknya
melengkapi diri dengan berbagai ilmu, agar dapat digunakan dalam
pengasuhan anak. Ketika anak dibekali oleh bangunan keagamaan yang baik,
hal ini akan menciptakan langkah antisipasif terhadap bencana
kebobrokan akhlak anak dimasa depan. Jadi sekedar memerintahkan anak
untuk berbuat, tidaklah cukup membentuk karakter dan pribadi yang sholeh
pada diri mereka. Orang tua juga harus sanggup untuk memberikan
tauladan dalam hal berbuat baik.
2. Orang tuaku, tauladanku.
“Like father, like son”, ungkapan ini
mungkin sudah sering kita dengar untuk menjelaskan bahwa memang anak
adalah plagiator ulung. Setiap tindak tanduk orang tua yang tertangkap
oleh mata anak- anak mereka, tidak akan hilang begitu saja. Memori anak
yang kuat akan terus merekam. Jika seorang anak sering berkata kasar,
bisa jadi karena dia juga sering mendapat perkataan seperti itu dari
orang tuanya. Atau mungkin karena si anak seringkali melihat adegan
pertengkaran yang dipertontonkan orang tua mereka dirumah. Jika hal ini
dibiarkan setiap hari, lama-lama sikap tersebut akan diimitasi,
diinternalisasi dan dihabitasi dalam kehidupan anak tersebut.
3. Ukir Masa Depan Anak dengan Ilmu
Mengajarkan ilmu kepada anak, ibarat
mengukir diatas batu. Ilmu apapun yang orang tua berikan kepada anak
akan dengan mudah terserap. Ini tidaklah mengherankan, karena ketika
anak dilahirkan mereka memiliki 100 miliar neuron di otaknya. Jika
diumpamakan satu unit komputer memiliki 100 neuron (jaringan) maka otak
anak akan sama dengan 1 miliar unit komputer. Karena itulah, anak-anak
memiliki karakteristik ingatan yang kuat. Maka, disinilah waktu yang
tepat untuk para orang tua untuk mengajarkan mereka tentang akidah yang
benar, namun tetap dengan bahasa yang mereka bisa pahami.
4. Perhatikan lingkungan anak- anak kita
"Sesungguhnya perumpamaan teman yang
shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan
pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu
membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Dan seorang pandai
besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang
tidak sedap." (HR. Bukhari Muslim). Itulah pesan Rasulullah yang
mulia, agar kita berhati- hati dalam memilih teman, serta peka terhadap
pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitar kita. hal yang sama juga
berlaku bagi anak- anak kita. Mereka yang polos kadang belum mengerti
tentang bagaimana mereka harus berteman. Maka disinilah tantangan bagi
orang tua untuk kemudian "menyelamatkan" anak mereka dari pengaruh buruk
yang akan membentuk kepribadiannya dimasa depan.
5. Sabar, ikhlas dan doa
Kesabaran adalah hal mutlak harus
dimiliki orang tua. Hal ini karena dalam rentang proses mendidik anak,
kadang kita menemui hal- hal yang kurang berkenan. Contohnya, anak
bersikap bandel dan tidak mau dinasehati. Ketika berada dalam keadaan
seperti ini, sebaiknya orang tua menghindarkan diri dari caci maki dan
kemarahan yang hanya akan membuat mereka semakin menjauh. Ketika emosi
sudah mulai memuncak, orang tua harus pandai dalam menguasai diri,
katakan pada diri bahwa toh mereka masih anak- anak, yang mungkin belum
sepenuhnya mengerti tentang sebuah akibat. Kitapun pernah pada usia
mereka, dan pastilah saat itu kita pun tidak ingin dibenarkan dengan
cara yang kasar. Selain itu, orang tua juga harus belajar tentang
keikhlasan. Ridho allah adalah tujuan terbaik, dan jalan menggapainya
adalah dengan ikhlas. Keikhlasan hati orang tua akan membuat apa yang
mereka sampaikan mudah diserap dan dipahami anak. Dan yang tidak kalah
penting, adalah dengan terus mendoakan mereka, supaya selalu berada
dijalan Allah, dan kelak menjadi generasi islami yang membanggakan.